Minggu, 04 Oktober 2009

PERANAN ETIKA DAN MORAL BAGI PROFESI HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi lain, misalnya profesi dokter, profesi akuntan, profesi teknik, dan lain-lain1. “Profesionalisme hukum tanpa etika dan moral menjadikannya “bebas sayap” (vleugel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vleugel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak,” (Soelaiman Soemardi: 2001).
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekadar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Hukum ketika dipahami bersama sebagai serangkaian peraturan perundang undangan yang memuat mengenai materi berupa mekanisme hak dan kewajiban yang seyogyanya boleh dan atau tidak boleh dilakukan oleh subyek hukum, maka terdapat syarat mutlak yaitu satu pilar penting yang berfungsi peran melakukan penegakan hukum dimaksud. Fungsi peran untuk melakukan upaya penegakan hukum tersebut hakekatnya merupakan personifikasi dari hukum itu sendiri, agar hukum dalam pelaksanaannya bisa berjalan efektif seperti yang diharapkan sebagaimana ketika latar belakang filosofis perlunya aturan atau hukum itu dibuat. Personifikasi tersebut selanjutnya lazim disebut sebagai penegak hukum. Relevan dengan hal itu,

1. Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006, hlm 19

dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, personifikasi tersebut adalah sebuah profesi yang menuntut profesionalitas serta tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap profesional hukum.Menjadi sebuah persoalan pada saat terjadi ketidak sinkronan antara aturan hukum yang harus ditegakkan dengan profesional hukumnya itu sendiri. Hal tersebut muncul lebih dikarenakan oleh etika dan moral para pelaku profesi hukum sangat tidak terpuji ditambah lagi rendahnya komitmen para profesional hukum dalam mengemban profesinya untuk menegakkan hukum.
Dalam keadaan itu, maka pada hakekatnya personifikasi dari aturan atau hukum itu sendiri dalam wujudnya sebagai profesi penegak hukum telah gagal. Oleh karena itu, untuk menemukan kebenaran dan menuju keadilan sebagai tujuan dari hukum tersebut, maka para pelaksana profesi hukum dalam menjalankan tugas profesinya harus berdasarkan etika dan moral serta profesionalisme. Para profesional hukum tersebut harus memiliki etika, disamping tingkat kecerdasan, ketrampilan dan kematangan, juga harus mempunyai integritas moral yang tinggi. Mereka harus memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan tugas profesi berdasarkan etika dan moral , serta mempunyai kebijakan yang juga memadai dalam menentukan bahwa tugas profesinya dikerjakan dengan benar.
Para profesional hukum tersebut adalah Jaksa, Hakim, dan Advokat. Jika pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andai kata tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara2. sebab tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari norma-norma atau tatanan yang ada, karena terpengaruh oleh adanya hawa nafsu yang tidak terkendali.

2. Suhrawardi K. Lubis, S.H. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002. cetakan ketiga hlm 26

Berjalan tidaknya penegakan hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum yang menjalani profesinya tersebut3. suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya kehadiran profesi hukum bertujuan untuk memberikan pelayanan atau bantuan hukum kepada masyarakat. Dalam artian bahwa yang terpenting dari itu adalah pelayanan dan pengabdian bagi masyarakat yang memerlukan bantuan hukum tetapi malah sebaliknya di indonesia profesi hukum dijadikan sebagai mata pencaharian bagi para pelaku profesi hukum. Untuk menghindari jangan sampai terjadi penyimpangan terhadap menjalankan profesi, khususnya profesi hukum. Maka hendaklah para pelaku profesi hukum berpegang teguh para etika dan moral sehingga mereka mampu bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, khususnya mampu bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

B. Permasalahan
Dari paparan kami diatas, ada beberapa permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas mengingat kemajuan profesi hukum saat ini tidak ditunjang dengan etika dan moral yang baik sehingga profesi hukum dijadikan sebagai alat kejahatan oleh para pelaku profesi hukum, sehingga ada beberapa topik permasalahan yang akan kami uraikan sebagai berikut :
A. Bagaimanakah perbedaan antara etika dan moral ?
B. Bagaimanakah hubungan antara etika dengan Profesi hukum ?
C. Bagaimanakah peranan Profesi Hukum dalam penegakan hukum di Indonesia ?
D. Bagaimanakah Etika dan moral seorang Advokat dalam penegakan hukum ?
E. Bagaimanakah Kendala-kendala yang dihadapi seorang Advokat ?



3. Supriadi, S.H.,M.Hum. op. Cit., hlm 20


BAB II
PEMBAHASAN


A. Perbedaan Etika dan Moral
a. Pengertian Etika
Bertens (1994) menjelaskan, Etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan yang baik. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah Etika yang oleh Filsuf yunani Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul kata ini, maka Etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)4.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, tahun 1989, yang dimaksud dengan etika adalah
a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
b. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyakat

istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain5. dalam bahasa indonesia perkataan etika lazim juga disebut susila atau kesusilaan yang berasal dari bahasa sangsakerta: su (indah) dan sila (kelakuan) jadi ,kesusilaan mengandung arti kelakuan yang baik yang berwujud kaidah, norma (peraturan hidup bermasyarakat).



4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Kedua, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan kebudayaan
5. Budi Susanto dalam Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003, cetakan kedua, hlm 1



Selain itu dalam Ensiklopedi Indonesia, terbitan ikhtisar baru, tahun 1984, dijelaskan bahwa etika (berasal dari bahasa inggris Ethics) yang mengandung arti : ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, mengenai :
a. apa yang baik dan apa yang buruk
b. segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang perikeadilan hidup dalam arti kata seluas-luasnya
Berdasarkan perkembangan arti tadi, Etika dapat dibedakan antara Etika perangai dan etika moral6.
1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat didaerah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku,
a. berbusana adat
b. pergaulan muda-mudi
c. perkawinan semenda
d. upacara adat
2. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar, kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Cotoh etika moral adalah :
a. berkata dan berbuat jujur
b. menghargai hak orang lain


6. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Cetakan 1, hlm. 14

c. menghormati orangtua atau guru
d. membela kebenaran dan keadilan
e. menyantuni anak yatim/piatu.
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran-kesadaran dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan manusia selalu dikehendaki yang baik dan benar, karena ada kebebasan kehendak, maka manusia bebas memilih antara yang baik dan tidak baik, antara yang benar dan tidak benar, dengan demikian, dia mempertanggungjawabkan pilihan yang dibuatnya itu. Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya pula berkehendak untuk dihukum. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang diciptakan oleh penguasa.

3. Etika dan Etiket
Penggunaan kata etika dan etiket sering dicampuradukan. Padahal antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yang mendasar walaupun ada juga persamaanya. Kata etika berarti moral, sedangkan kat etiket berarti sopan santun, tatakrama. Persamaan antara kedua istilah tersebut adalah keduanya mengenai prilaku manusia. Baik etika maupun etiket mengatur prilaku manusia secara normatif. Artinya memberi norma prilaku manusia sebagaimana seharusnya berbuat atau tidak berbuat.

Disamping persamaan tersebut, bertens (1994) mengemukakan empat perbedaan seperti diuraikan berikut ini:
(a) etika menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tudak, misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin. Bagaimana cara masuknya, bukan soal.Etiket menetapakan cara melakukan perbuatan, menunjukan cara yang tepat, baik, dan benar bsesuai dengan yang diharapakan.
(b) etika berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang lain, misalnya larangan mencuri selalu berlaku, baik ada atau tidak ada orang lain.Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, jika tidak ada orang lain yang hadir, etiket tidak berlaku, misalnya makan tanpa baju.Jika makan sendiri, tanpa orang lain, sampe telanjangpun tidak jadi masalah.
(c) etika bersifat absolut, tidak dapat di tawar-tawar, misalnya jangan mencuri,jangan membunuh. Etika bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
(d) Etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah), orang yang bersikap etis adalah orang yang benar-benar baik, sifatnya tidak bersikap munafik. Etika memandang manusia dari segi luar (lahiriah), tampaknya dari luar sangat sopan dan halus, tetapi didalam dirinya penuh kebusukan dan kemunafikan
b.Pengertian Moral
Perkata moral berasal dari bahasa latin mores. Mores berasal kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan7.
Dalam kamus umum bahasa indonesia dari W.J.S. Poerwardarminto terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Beranjak dari pengertian moral diatas, pada prinsipnya moral merupakan alat penuntun, pedoman sekaligus alat kontrol yang paling ampuh dalam mengarahkan kehidupan manusia. Seorang manusia yang tidak mengfungsikan dengan sempurna moral yang telah ada dalam diri manusia yang akan selalu melakukan perbuatan atau tindakan-tindakan yang sesat. Dengan demikian, manusia tersebut telah merendahkan martabatnya sendiri.


7. Drs. H. Burhanuddin Salam,M.M. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Rineka Cipta, Jakarta, 2000. hlm. 2

Sejalan dengan pengertian moral dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral sama dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai dan morma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Apabila dikatakan : advokat yang membela perkara itu tidak bermoral” artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam kelompok profesinya. Dalam hal ini manusia dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Aritoteles dalam bukunya Etika, ia mulai berkata “manusia itu dalam sebuah perbuatannya, bagaimanapun juga mengejar sesuatu yang baik. Defenisi sesuatu yang baik itu adalah sesuatu yang dikejar atau dituju8.


B. Hubungan Etika Dengan Profesi Hukum9
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksankan oleh aparatur hukum dalam pemerintahan suatu negara10. Kalau diadakan penelusuran sejarah, maka akan dapat dijumpai bahwa etika telah dimulai oleh Aristoteles, hal ini dapat dibuktikan dengan bukunya yang berjudul ETHIKA NICOMACHEIA. Dalam buku ini Aristoteles menguraikan bagaimana tata pergaulan, dan penghargaan seseorang manusia kepada manusia lainnya, yang tidak didasarkan kepada egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan atas hal-hal yang bersifat altruistis, yaitu memperhatikan orang lain dengan demikian juga halnya kehidupan bermasyarakat, untuk hal ini Aristoteles mengistilahkannya manusia itu zoon polition.


8. Ibid. hlm 31.
9. Suhrawardi K. Lubis, S.H. op, cit., hlm 3-9
10.Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003, cetakan kedua, hlm 8


Etika dimaksukkan dalam disiplin pendidikan hukum disebabkan belakangan ini terlihat adanya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak hukum, yang mana hal ini tentunya merugikan bagi pembangunan masyarakat indonesia.
Profesi hukum dewasa ini memiliki daya tarik tersendiri, akibat terjadinya suatu paradigma baru dalam dunia hukum. sehingga menyebabkan konsorsium ilmu hukum memandang perlu memiliki etika dan moral oleh setiap setiap profesi hukum, apalagi dewasa ini isu pelanggaran hak asasi manusia semakin marak diperbincangkan dan menjadi wacana publik yang sangat menarik11. Dengan adanya etika profesi hukum diharapkan lahirlah nantinya sarjana-sarjana hukum yang profesional dan beretika . pengembangan profesi hukum haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan khususnya dalam bidang itu, oleh karena itu oleh karena itu setiap profesional harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum. Untuk itu tentunya memerlukan keahlian dan berkeilmuan.
Seseorang pengemban profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh, bahwa ia (propesional hukum) tidak akan menyalahgunakan situasi yang ada. Pengembangan profesi itu haruslah dilakukan secara bermartabat, dan ia harus mengerahkan segala kemampuan pengetahuan dan keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah merupakan tugas kemasyarakatan yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai dasar yang merupakan perwujudan martabat manusia, dan oleh karena itu pulalah pelayanan profesi hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat.
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai

11. Supriadi, S.H.,M.Hum. op. Cit., hlm 19

Pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah didalam melaksanakan profesi hukum kita harus mengutamakan etika dalam setiap berhubungan dengan masyarakat khususnya warga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum
Selain itu dalam pelaksanaan tugas profesi hukum itu selain bersifat kepercayaan yang berupa habl min-annas (hubungan horizontal) juga harus disandarkan kepada habl min Allah (hubungan vertikal), yana mana habl bin Allah itu terwujud dengan cinta kasih, perwujudan cinta kasih kepada-Nya tentunya kita harus melaksanakan sepenuhnya atau mengabdi kepada perintah-Nya yangb antara lain cinya kasih kepada-Nya itu direalisasikan dengan cinta kasih antar sesama manusia, dengan menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka otomatis akan melahirkan moyivasi untuk mewujudkan etika profesi hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas (yang pada hakikatnya merupakan amanah) profesi hukum. Dan dengan itu profesi hukum memperoleh landasan keagamaan, maka ia (pengemban proesi) akan nmelihat profesinya sebgai tugas kemasyarakatan dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaan kepada Allah SWT dengan tindakan nyata.
Menyangkut etika profesi hukum ini di ungkapkan bahwa (Arif sidhrta,1992:107) : etika profesi adalah sikap etis sebgai bagian intergral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah prilaku dalam mengemban profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.
Karena tidak memiliki kopetensi teknikal, maka awam tidak memilikinhal tiu. Di sampin tiu, pengemban profesi sering dihadapkan pada situasi yang menimbulkan masalah pelik untuk menentukan perilaku apa yang memenuhi tuntunan etika profesi.
Sedangkan prilaku dalam mengemban profesi dapat membawa akibat (negatif) yang jauh terhadap klien atau pasien. Kenyataan yang dikemukakan tadi menunjukan bahwa kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya pedoman objektif yang kongkret bagi prilaku profesinya. Karena itu dari lingkungan para pengemban profesi tiu sendiri dimunculkanlah seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi.
Perangkat kaidah itulah yang disebut kode etik profesi (bisa di singkat: kode eitk), yang dapat tertulis maipun tidak tertulis yang diterapkan secara formal oleh organisasi profesi yang bersangkutan, dan di lain pihak untuk melindungi klien atau pasien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas profesional.
Dari uraian diatas terlihat betapa eratnya hubungan antara etik dengan profesi hukum, sebab dengan etika inilah para profesional hukum dapat melaksanakan tugas (pengabdian) profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhiranya akan melhirkan kesdilan ditengah-tengah masyarakat.
Ketertiban dan kedamaian yang berkeadilan adalah merupakan kebutuhan pokok manusia, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan bernegara, sebab dengan situasi ketertiban dan kedamaian yang berkeadilanlah, manusia dapat melaksanakn aktivitas pemenuhan hidupnya, dan tentunya dalam situasi demikian pulalah proses pembangunan dapat berjalan sebagaimana diharapakan.
Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur, dan merupakan unsur penting dari harkat dan martabat manusia. Hukum dan kaidah, peratuiran-peraturan, norma-norma, kesadaran dan etis dan keadilan selalu bersumber kepada penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia adalah sebagai titik tumpu (dasar, landasan) serta muara dari hukum. Sebab hukum itu sendiri dibuat adalah untuk manusia itu sendiri.
Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat bahwa penyelengaraan dan penegakan keadilan dan perdamaian yang berkeadilan dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai kebutuhan pokok, agar kehidupan bermasyrakat itu sendiri, dan hal inilah yang diupayakan oleh para pengemban profesi hukum.
H.F.M. crombag sebagaimana diikuti oleh B.Arif Sidharta (B.Arif Sidharta,1992: 108-109) mengklasifikasikan peran kemasyarakatan profesi hukum itu sebgai berikut: penyelesaian konflik secara formal (peradilan), pencegahan konflik (legal drafting, legal advice), penyelesaian konflik secara informal, dan penerapan hukum yang secra khas mewujudkan bidang karya hukum adalah jabatan-jabatan hakim, advokat dan notaris.
Jabatan maupun yang di embannya, seorang pengemban profesi hukum dalam menjalankan fungsinya harus selalu mengacu pada tujuan hukum untuk memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manuisa.

C. Peranan Provesi Hukum Bagi Penegakan Hukum di Indonesia
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu¬tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan¬nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu¬kum itu adalah polisi, jaksa pengacara dan hakim. Sehingga seorang profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum yang andal , sebagaimana penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara propesional kepada masyarakat12. Para pe¬ne¬gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso¬alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja¬bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga¬nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca¬mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti¬tusio¬na¬lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio¬na¬lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi), (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na¬sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen¬didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut. Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang¬an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi¬naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut


12. Ibid,. hlm 21

seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Di samping itu, pem¬bi¬naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila¬kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi¬nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me¬mer¬lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me¬menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim¬pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling¬kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri¬tas kepri¬badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da¬pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem¬bu¬dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega¬¬ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de¬ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis¬tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek¬nologi informasi (information technology); (b) pening¬katan Upaya Publikasi, Ko¬munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi¬dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro¬nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain¬nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me¬nge¬nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke¬mung¬kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme¬rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung¬kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera¬gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa¬da ma¬sya¬rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe¬ma¬sya¬¬rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem¬ba¬ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di¬perlu¬kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter¬ma¬suk me¬ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.


D. Etika dan Moral Advokat dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi, seorang advokat harus bersedia memberi nasihat dan bantuan hukum kepada orang-orang yang memerlukannya tanpa membedakan Agama, kepercayaan, suku, keturunan, kedudukan sosial atau keyakinan politiknya tidak semata-mata untuk mencari imbalan materil, tetapi terutama untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab13. dan sejak dulu keberadaan advokad selalu ada semacam ambivalensi. Dalam bahasanya Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejavbat bahkan rakyat miskin sekalipun.

13. Kode Etik Advokat Indonesia dalam Suhrawardi K. Lubis, S.H. op. cit,. Hlm 96

Salah satu hal lain yang menarik perhatian adalah peran advokat bukan hanya sebagai spesialisasi dalam penyelesaian pertentangan antara warga, tapi juga sebagai spesialisasi dalam hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, yaitu antara masyarakat dan negara. Dalam negara modern, tanpa ada orang yang mengisi fungsi itu secara profesional, masyarakat akan lebih mudah ditindas dan dipermainkan oleh penguasa.
Fungsi advokat bukan hanya berperkara di pengadilan, namun sangat penting, mewakili kepentingan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Justru karena profesi advokat mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara atau warga negara yang lainnya.
Dalam kondisi yang demikian banyak advokat dengan sendirinya muncul dalam politik, urusan social, pendidikan, perjuangan perubahan politik atau ekonomi, dan sering masuk menjadi pimpinan gerakan reformasi. Bukan hanya advokat tentunya, tapi profesi itu menonjol dalam sejarah negara modern sebagai sumber ide dan perjuangan modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitusionalisme dan sejenisnya.
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia (Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming. di Indonesia. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkara-perkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya juga menggunakan jasa advokat.
Di dalam sistem hukum di negara kita terdapat jaminan adanya kesamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang secara konseptual tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi juga merupakan gerakan yang dijamin oleh konstitusi. Disamping itu juga merupakan azas yang sangat penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum (asas legal assistance), sehingga disinilah kedudukan profesi advokat dalam kekuasaan yudikatif dalam rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat mempunyai arti yang sangat penting.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi kondisi masyarakat Indonesia adalah bukan golongan ekonomi menengah keatas, namun 60 persen adalah masyarakat rata-rata menengah kebawah (miskin), sehingga tidak mungkin mampu untuk membayar jasa seorang advokat ketika berhadapan dengan persoalan hukum. Apalagi sebagian besar masyarakat indonesia masih buta akan persoalan hukum. Permasalahannya sekarang adalah bagaimanakah nasib mereka apabila dihadapkan dengan persoalan-persoalan hukum, siapa yang akan membantu, mendampingi dan membela hak-haknya. Sehingga disinilah kearifan seorang advokat dibutuhkan untuk dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma (probono) kepada masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu.
Berkaitan dengan masalah bantuan hukum cuma-cuma terhadap orang yang tidak mampu, dahulu sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat , bantuan hukum secara cuma-cuma dapat diberikan oleh advokat/pengacara/penasehat hukum, baik bersifat perorangan maupun yang tergabung dalam organisasi profesi. Penasehat hukum (LBH/biro-biro hukum yang terdaftar pada Departemen kehakiman atau pada Pengadilan tinggi).
Namun sekarang semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 sebelum adanya Judicial Review. bantuan hukum cuma-cuma hanya dapat diberikan oleh advokat saja. Sebagaimana ketentuannya dalam pasal 1 (2) yang berbunyi :
“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum laian untuk kepentingan hukum klien“[5]
Sehubungan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang pada intinya menyatakan hanya Advokatlah yang dapat memberikan jasa hukum dan bantuan hukum cuma-cuma baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 (1)), maka dari itulah penulis tertarik untuk mengetahui tentang persepsi dan pelaksanaan bantuan hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh advokat.
Menurut Undang-udang Nomor 18 tahun 2003 tentang ADVOKAT pasal 22 ayat 1 yang berbunyi; “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kerpada pencarikeadilan yang tidak mampu”, dan masalah ini juga pernah diatur dengan Insruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1994 tentang Petunjuk pelaksanaan program bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum yang telah disempurnakan dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1996, dalam rangka peningkatan pemerataan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum, maka penyelenggaran dan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi golongan masyarakat yang kurang mampu yang selama ini hanya melalui Pengadilan Negeri sejak tahun anggaran 1980/1981 s/d 1993/1994 maka dalam tahun anggaran 1994/1995 seterusnya dirintis juga melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) disamping melalui Pengadilan Negeri yang selama ini telah ada, sehingga pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu ditempuh 2 (dua) cara yaitu :
1. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Pengadilan Negeri.
2. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Adapun model pemberian bantuan hukum yang ditawarkan adalah diberikan kepada tersangka yang tidak atau kurang mampu dalam :
a. Perkara pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih;
b.Perkara pidana yang diancam pidana mati;
c.Atau perkara pidana yang diancam hukuman penjara kurang dari 5 (lima tahun) yang menarik perhatian masyarakat luas.
Adapun syarat untuk dapat mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma adalah Surat Keterangan tidak mampu dari seorang tersangka atau terdakwa yang disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau setidak-tidaknya oleh Kepala Desa yang diketahui oleh Camat, dan apabila mengalami kesulitan dapat membuat pernyataan di atas segel dan diketahui pengadilan dan dapat pula dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak mampu.
Sedangkan advokat yang memberikan bantuan hukum ditunjuk oleh Ketua Mejelis Hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan Negerinya. Penunjukan tersebut ditetapkan dengan Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim dan diberikan kepada advokat yang mempunyai nama baik dan sanggup memberikan jasa hukunya secara cuma-cuma, sehingga biaya yang diberikan negara adalah sekedar penggantian atas ongkos jalan, biaya admisistrasi, dan lain sebagainya.
Disebutkan pula, jika dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak tersedia advokat yang dapat memberikan bantuan hukum, maka dapat ditunjuk pemberi bantuan hukum yang berdomisili dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang terdekat, atau dalam wilayah hukumnya Pengadilan Tinggi yang bersangkutan
Berkaitan dengan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu, tidak ada peraturan yang menyatakan batasan/ukuran masyarakat yang tidak mampu itu seperti apa, sebab banyak juga orang yang mengaku tidak mampu padahal dia mempunyai rumah yang layak dan sebuah toko yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Padahal hal ini sebenarnya cukup penting guna menyeleksi klien yang benar-benar berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai advokat yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran dan bahkan mungkin uang pribadinya demi memberikan bantuan hukum kepada klien yang bersangkutan akan menelan kekecewaan belaka setelah mengetahui kondisi ekonomi klien yang sebenarnya.
Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan pada proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka,”.
maka sebenarnya setiap pejabat yang memeriksa tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan, meliputi polisi pada tingkat penyidikan, jaksa pada tingkat penuntutan, dan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, mempunyai kewajiban untuk menyediakan bantuan hukum, atau memastikan bahwa tersangka atau terdakwa yang diperiksa didampingi oleh seorang penasehat hukum. Bahkan menurut ayat (2) dari Pasal yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa : “Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimna dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”, para advokat juga tidak luput dari kewajiban serupa, yaitu menyediakan bantuan hukumsecara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa berdasarkan permintaan yang diajukan oleh para pejabat di lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas.
Agar bantuan hukum yang diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, maka perlu dalam pelaksanaannya dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat, maupun organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum.
Sebagaimana telah diketahui dan juga telah dijelaskan diawal tulisan ini, pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih dari hal tersebut adalah bagaimana menjadikan masyarakat untuk mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Pengakuan Negara harus diwujudkan bagi pertisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Hal yang terakhir ini dilaksanakan diantaranya dengan memberikan pendidikan hukum (civics education) kepada masyarakat.
Pada tataran normatif, diperlukan adanya pengaturan khusus yang sifatnya memfasilitasi pelaksanaan bantuan hukum. Melihat kebutuhan dan keberadaan undang-undang ini dalam rangka menjamin hak masyarakat untuk mendapat keadilan maka dirasa perlu adanya peraturan/undang-undang tentang bantuan hukum. Sebaiknya kalaupun ada undang-undang tentang bantuan hukum hendaknya tidak dilihat dari perspektif pelaksana pemberian bantuan hukum, melainkan dari kacamata masyarakat yang membutuhkannya, sehingga diharapkan materi pengaturan yang tercakup di dalamnya akan tepat pada sasaran yang dituju.
Dengan kata lain, jaminan terhadap bantuan hukum tidak berkaitan dengan adanya undang-undang bantuan hukum. Ketika yang dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga diperhatikan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu menyelesaikan sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan yang memungkinkan diterapkannya Alternative Dispute Resolution (ADR). Perlu juga diperhatikan jaminan terhadap hak masyarakat untuk mengembangkan pengetahuannya dan sikap kritis terhadap setiap produk hukum negara maupun yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan mengenai kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang akan memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual maupun struktural.
Berdasarkan kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum tersebut maka pengaturan bantuan hukum sebaiknya mencakup :
a. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan akses ke peradilan formal dan untuk mendapatkan bantuan hukum yang merupakan wujud dari pelaksanaan bantuan hukum individual yang sebaiknya dilakukan oleh advokat dan dijamin oleh penegak hukum lainnya dalam setiap proses peradilan
b. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan pendidikan hukum sebagai wujud dari pelaksanaan bantuan hukum struktural;
c. Pengaturan mengenai koordinasi antar aparat penegak hukum dalam melaksanakan bantuan hukum;
d. Transparansi terhadap kebijakan hukum dan peradilan;
e. Pengaturan mengenai keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi produk hukum;
f. Pengaturan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi prosedur dan pelaksanaan penegakan hukum;
g. Sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.Pada tingkatan praktis.
yang perlu dipikirkan dalam pelaksanaannya adalah bagaimana system penyebaran bantuan hukum ini dan bagaimana dengan pola pembiayaannya.
Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai hal tersebut perlu dibedakan terlebih dulu pelaksanaan bantuan hukum individual dengan bantuan hukum struktural. Hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik antara bantuan hukum individual dengan bantuan hukum struktural.
Bantuan hukum individual seperti yang dikatakan sebelumnya, lebih tertuju pada kegiatan pendampingan terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada diskriminasi hukum terhadap mereka. Hal ini mengakibatkan perlunya kualifikasi tertentu, yaitu sarjana hukum yang menjadi advokat, bagi pelaksana bantuan hukum individual. Sementara bantuan hukum struktural kegiatannya lebih mengarah kepada proses pemberdayaan dan penyadaran masyarakat hukum supaya mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar pada cara tertentu.
Bantuan hukum struktural selama tidak bersentuhan langsung dengan proses peradilan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus memenuhi kualifikasi sarjana hukum sebagai advokat. Perbedaan lainnya terlihat pada target sasaran yang dituju, kalau pada bantuan hukum individual targetnya yaitu masyarakat secara individu sedangkan dalam bantuan hukum struktural targetnya adalah masyarakat dalam arti kolektif. Pada bantuan hukum individual, ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan supaya pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasarannya yaitu :
a. Memberdayakan organisasi - organisasi masyarakat / swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, dan lain-lain. Di sini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi masyarakat/swasta tersebut.
b. Memberdayakan organisasi advokat. Pada model ini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi advokat dimana nantinya organisasi advokat akan menunjuk anggotanya untuk membela anggota masyarakat yang tidak mampu.
Baik dengan cara-cara diatas, pada tingkatan proses perkara di Kepolisian maupun Kejaksaan, untuk tersangka/terdakwa yang tidak memiliki penasehat hukum, aparat polisi maupun jaksa yang menangani perkara tersebut wajib memintakan pendampingan penasehat hukum untuk tersangka/terdakwa tersebut melalui pengadilan.
Sementara pelaksanaan bantuan hukum (Advokasi) struktural dapat dilakukan melaui 3 (tiga) cara, yaitu 14.
a. Jalur non-litigasi, dimana lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada dan setiap komponen masyarakat yang berkepentingan membantu memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat guna menyadarkan mereka akan hak-haknya. Misalnya dengan menempelkan poster-poster di tempat-tempat umum, di institusi-institusi penegakan hukum yang berisi hak dan kewajiban mereka, membuat buklet-buklet yang berisikan informasi mengenai hak masyarakat dan kemudian disebarkan secara umum kepada masyarakat, atau dapat pula secara langsung mengadakan kontak dengan masyarakat melalui diskusi-diskusi yang bertujuan memberikan penyuluhan hukum kepada mereka. Yang intinya adalah meyadarkan masyarakat akan pentingnya hukum yang selama ini masih menjadi milik pemilik modal dan penguasa.
b. Jalur litigasi, di sini para aktifis bantuan hukum yang secara formal menyandang hak berpraktek sebagai advokat menggunakan jalur hukum untuk mengkritisi peraturan perundang-undangan positif yang ada. Misalnya dalam penanganan kasus-kasus politik, forum pengadilan dijadikan sebagai corong dengan persetujuan kliennya untuk menyampaikan pesan ketidak adilan bahwa suatu produk hukum tertentu tidak benar.
c. Policy reform, yaitu mengartikulasikan berbagai cacat yang terdapat dalam hukum positif dan kebijakan yang ada, untuk dikritisi serta kemudian memberikan alternatif-alternatif yang mungkin.
Namun pada prakteknya di lapangan, kedua bentuk bantuan hukum ini dapat dilaksanakan secara sinergis dan saling mengisi satu sama lain.
Sebelum berbicara mengenai sitem penyebaran bantuan hukum, tidak ada salahnya jika kita menengok ke belakang tentang sejarah lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada tahun 1970. Adapun ide pembentukan lembaga tersebut adalah tidak lain karena pincangnya pola pembangunan di Jakarta, terutama pada awal tahun 1970. Dimana pembangunan hukum masih sangat ketinggalan, padahal pembangunan fisik berjalan sangat kencang. Sebagai akibatnya tidak jarang rakyat kecil harus menanggung kerugian akibat pembangunan fisik yang lebih didahulukan. Dimata Buyung, rakyat perlu didampingi agar hak-hak mereka tetap dapat terlindungi.


14. Jimly Asshidiqqi. Peranan Advokat Dalam Penegakan Hukum.

Dengan dasar itulah LBH berdiri, dan karena kiprahnya yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas namanyapun semakin berkibar dan kemudian melebarkan sayapnya hingga ke daerah-daerah dan membentuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Yayasan inilah yang menjadi payung LBH ang ada disejumlah daerah. Selama itu juga lembaga ini tetap konsisten untuk tidak memungut biaya bagi pembelaan terhadap hak-hak rakyat miskin. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut penulis dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh LBH saja yang memang sudah menjadi tugasnya, namun perlu juga dibudayakan dikalangan advokat. Sebab apabila bantuan hukum hanya dilakukan oleh LBH hal ini tidak akan memungkinkan, karena jumlah LBH yang ada jauh lebih sedikit dari pada jumlah penduduk Indonesia. Meskipun sudah ada kententuan UU Advokat yang mewajibkan bagi para advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma, namun hendaknya peran advokat dalam memberikan bantuan hukum dimulai dari kesadaran diri masing-masing, bahwa sebenarnya profesi advokat adalah profesi yang mulia (Officium Nobile) dan disitulah salah satu letak kemuliaannya. Dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma tentunya tidak bisa lepas dari peran dan fungsi oraganisasi advokat untuk selalu memberikan dorongan dan melakukan kontrol/pengawasan terhadap kegiatan tersebut.

E. Kendala yang dihadapi Advokat.15
Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar (on equal footing), kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak individu.


15. Teguh Adminto. Peranan Advokat Dalam Penegakan Hukum Implementasi Penanganan Kasus Pro-Bono
Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pada kenyataannya tidak semua warga negara mempunyai kemampuan untuk menggunakan jasa advokat atau penasehat hukum guna membela kepentingan mereka dalam memperoleh keadilan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anggota masyarakat Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dan kurangnya pengetahuan mereka akan hukum, serta ditambah lagi dengan rendahnya budaya dan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip “fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.
Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus pro-bono yang menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya prodeo dalam perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana prodeo tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit
Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nilai-nilai etika dan moral itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orangsaja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika dan moral tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
B. Saran
Peranan etika dan moral bagi profesi hukum sangat penting, sehingga saran dari kami kirannya dalam mendidik calon-calon profesi hukm harus mengutamakan dan menitik beratkan masalah etika dan moral sehingga kalau keduannya ini dimiliki oleh calon profesi hukum maka tidak ada namanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para profesi hukum yang dapat merugikan masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.

DAFTAR ISI
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003
Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006.


Suhrawardi K. Lubis, S.H. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002
Drs. H. Burhanuddin Salam,M.M. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Rineka Cipta, Jakarta, 2000
Teguh Adminto. Peranan Advokat Dalam Penegakan Hukum Implementasi Penanganan Kasus Pro-Bono
Jimly Asshidiqqi. Peranan Advokat Dalam Penegakan Hukum.

1 komentar:

  1. Pembahasan yang lengkap mengenai PERANAN ETIKA DAN MORAL BAGI PROFESI HUKUM mengingat kredibel hukum di negeri kita masih dipertanyakan seperti hukum bisa dibeli, hukum hanya untuk orang kaya dll. Tulisan diatas tinggal kita melihat bagaimana penerapannya dilapangan.

    BalasHapus